Kamboja : Non-Claimant State
Oleh
Hasrul Sani Siregar, MA
Alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS, UKM, Malaysia
Dalam siri wacana YASMAK yang ditaja oleh Kumpulan Kamboja, telah dengan jelas posisi Kamboja dalam konflik di Laut China Selatan.
Walaupun Kamboja tidak mengklaim untuk seluruh dan sebagian wilayah di Laut Cina Selatan (LCS), namun Kamboja secara terus menerus berupaya untuk memberikan kontribusi dalam hal meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan agar keamanan jalur perdagangan dunia tersebut terjaga dengan baik.
Dalam sengketa di LCS, China kembali membuat suasana memanas dan berpotensi terjadinya konflik terbuka dengan berupaya mendirikan bangunan di Bombay Reef, Kepulauan Paracel yang merupakan salah satu wilayah yang masih dipersengketakan oleh sebagaian negara-negara ASEAN yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunai Darussalam dan China.
Pembangunan bangunan yang diduga sebagai basis pertahanan di lokasi Bombay Reef tersebut merupakan wilayah yang sangat strategis dan hal tersebut akan memicu konflik terbuka dengan negara-negara yang mengklaim sebagai wilayahnya.
Dari sudut pandang geo-politik dan geo-strategis, letak dan posisi Laut China Selatan memiliki nilai yang cukup berpengaruh secara pertahanan dan keamanan regional khususnya kawasan Asia Pasifik. Selain diyakini memiliki sumber daya alam yang sangat potensial dan menjanjikan, juga Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat strategis dan dilayari oleh beberapa negara untuk mendukung ekonominya dan kedaulatan wilayahnya.
Letaknya yang strategis dengan sumber daya alam yang potensial, menjadikan Laut China Selatan banyak diperebutkan oleh beberapa negara yang mengklaim bahwa Gugusan di sekitar Kepulauan Laut China Selatan dan Kepulauan Paracel tersebut merupakan milik mereka.
Seperti diketahui Gugusan di Kepulauan Laut China Selatan dan sekitarnya diperebutkan oleh beberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina, Brunai Darussalam dan tentunya China. Di Gugusan Laut China Selatan dan Gugusan Kepulauan Spartly tersebut merupakan wilayah yang hingga saat ini masih diklaim oleh negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, Kamboja yang tidak mengklaim wilayah tersebut tentu memiliki kepentingan dalam hal menjaga stabilitas dan keamanan regional khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Laos pada Oktober 2024 yang lalu, ASEAN sebenarnya sudah sepakat untuk memulai proses perundingan kode etik (code of conduct) terkait perebutan wilayah di Laut China Selatan. Kesepakatan diantara negara-negara ASEAN dan China tersebut merupakan batu loncatan terbesar dalam 15 tahun terakhir.
Beberapa negara-negara dalam ASEAN dan China telah menandatangani dokumen “Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea”. Seharusnya, dokumen tersebut berperan sebagai referensi ketika muncul ketegangan di Laut China Selatan. Namun, dokumen kode etik tersebut hanya berfungsi sebagai pemberi batasan moral bagi para pihak yang bertikai dalam sengketa tersebut.
Kamboja sebagai negara yang tidak mengklaim (non-Claimant State) untuk sebagian atau seluruh kawasan di Laut China Selatan, namun Kamboja memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal menjaga stabilitas kawasan Asia-Pasifik khususnya Asia Tenggara sebagai jalur perairan Internasional. Oleh sebab itu Kamboja dalam memandang sengketa di Laut China Selatan lebih menekankan agar Hukum Internasional dihormati dan rivalitas kekuatan besar harus dicegah khususnya antara Amerika Serikat dan China.
Jalan perundingan dengan mentaati dan menghormati komitmen-komitmen dalam deklarasi berperilaku di kawasan Laut China Selatan (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) harus tetap dijaga. Deklarasi berperilaku di kawasan Laut China Selatan telah disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN dan China pada 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja.
Deklarasi tersebut harus tetap terjaga dan ditaati oleh semua pihak yang bertikai secara penuh dan efektif. Masalah-masalah yang timbul hendaknya dapat diselesaikan dengan mekanisme yang telah disepakati sesuai dengan Code of Conduct tersebut. Intinya bahwa setiap negara yang memiliki sengketa di wilayah Laut China Selatan untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum Internasional dan mengedepankan meja perundingan serta menghindari konflik militer.
Keterlibatan Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia-Pasifik khususnya dijalur Laut China Selatan diyakini sebagai kepentingan ekonomi serta melindungi Taiwan yang sedang memiliki konflik teritorial dengan China. Taiwan yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan menginginkan Amerika Serikat untuk berperan dalam hal melindungi kepentingannya di kawasan Laut China Selatan. Amerika Serikat menganggap jalur pelayaran di Laut China Selatan merupakan jalur yang utama dan strategis dalam menjaga stabilitas politik, ekonomi serta sistem pertahanan dan keamanan regional kawasan di Asia Pasifik.
Secara geo-politik dan keamanan, kehadiran militer Amerika Serikat yang secara tak langsung menginginkan kestabilan kawasan di Laut China Selatan dengan menempatkan pangkalan militernya khususnya di Jepang dan Guam. Hal tersebut adalah sebagai penyeimbang kekuatan yang berhadapan secara tidak langsung dengan China. Praktis tidak ada kekuatan yang dapat menyaingi China selain Amerika Serikat khususnya di kawasan Laut China Selatan. Secara geo-strategis pula, kehadiran Amerika Serikat di kawasan Laut China Selatan yang menenpatkan pangkalan militernya di Jepang dan Guam sebagai upaya perimbangan kekuatan militer dengan China.
Amerika Serikat dapat membantu jika sewaktu-waktu China akan menyerang negara-negara sekutunya seperti Filipina dan Taiwan. Oleh karenanya, kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan Laut China Selatan amat diperlukan dalam upaya menyeimbangi kekuatan militer China yang akhir-akhir ini menunjukkan kekuatannya yang tidak saja meningkatkan anggaran militernya namun juga sudah menempatkan satelit pertahanan di kawasan Laut China Selatan. Oleh karena itu, walaupun Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam hal perimbangan kekuatan terhadap konflik di Laut China Selatan, seyogyanya pula kesepakatan yang telah disetujui oleh negara-negara yang mengklaim kawasan di Laut China Selatan untuk tetap terus mentaati apa yang telah tertuang dalam Deklarasi berperilaku di kawasan Laut China Selatan (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) tersebut..(cen)